Sunday, November 15, 2009

lanailestari: Wajib Baca:The Third Force

lanailestari: Wajib Baca:The Third Force

AQIQAH DAN KURBAN, BANYAK YANG KELIRU

1. Bolehkah menggabungkan aqiqah dan kurban?

Ini masalah khilafiyah. Ulama-ulama mazhab al-Syafie membenarkan aqiqah dilakukan bersamaan dengan kurban seperti yang dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi. Sedangkan Ulama-ulama mazhab Hambali dan Maliki tidak membolehkan dengan alasan aqiqah tidak sama hukumnya dengan kurban. Hal itu berdasarkan beberapa pendapat di bawah ini:

[1] Mereka melihat aqiqah adalah sebuah penebusan untuk anak yang dilahirkan. Oleh sebab itu seekor binatang yang disembelih untuk aqiqah hanya untuk seorang anak saja.

[2] Menurut Imam Ibn Hazm dlm Al-Muhalla (7/523): “Orang yg melaksanakan aqiqah dgn kambing yang cacat tetap sah aqiqahnya tetapi tidak dalam ibadah kurban.”

[3] Menurut Imam As-Sha’ani dlm subulus salam (4/1428): “Syarat kambing untuk aqiqah tidak sama dengan hewan kurban. Adapun orang yang menyamakan pensyaratannya, mereka hanya berdalilkan dengan qiyas.”

Juga berbeda dengan kurban, jumhur ulama berpendapat sebaiknya daging aqiqah dimasak dahulu sebelum dibagikan kepada orang lain.

Jalan keluar dari khilaf menurut Dr. Abdullah al-Faqih adalah dengan cara mengorbankan 3 kambing. Salah satu darinya berumur paling kurang 6 bulan untuk dijadikan kurban. Sedangkan dua kambing lainnya untuk dijadikan aqiqah bagi anak laki-laki.

2. Bolehkan memberi daging kurban atau akikah kepada non-Muslim?

Dibenarkan untuk memberikan daging kurban atau akikah kepada non-Muslim entah itu mereka tetangga kita, atau dari keluarga kita, bahkan dari kalangan orang miskin. Syaratnya adalah mereka tidak sedang berperang menentang orang Islam.

Tetapi ada juga ustadz yang menjawab seperti di bawah ini kalau ditanyakan boleh tidak daging akikah dimakan oleh non-Muslim:

Katanya tidak boleh menurut syarak. Pergi ke pasar kembali, dan beli daging untuk untuk menggantikan daging akikah yang telah dimakan oleh non-Muslim tersebut. Kemudian bagikanlah daging itu kepada fakir miskin. Alasannya adalah akikah itu adalah jamuan Allah kepada kita dan tidak boleh diberikan kepada yang mensyirikkan Allah.

Kalau saya lebih suka dengan pendapat yang membolehkan dibagi kepada non-Muslim.

3. Bolehkah memberikan daging kurban sebagai bayaran kepada penyembelih kurban?

Ada disebagian tempat penyembelihan kurban, si penyembelih dan yang memotong-motong daging secara otomatis menyisihkan sebagian daging yang mereka potong tanpa keizinan dari yang siempunya daging. Mereka menganggap itu sudah menjadi upah mereka. Karena ini sudah menjadi kebiasaan, si pemilik daging dengan terpaksa menyisihkan sebagian daging kurbannya kepada si penyembelih kurban. Bolehkah hal ini dilakukan:

Jawabannya adalah tidak boleh. Tidak dibenarkan membayar orang yang menyembelih dan memotong-motong daging tersebut dengan menggunakan daging kurban. Ulama berpendapat bahwa memberikan daging kurban sebagai upah akan merusakkan ibadah kurban tersebut. Oleh karena itu upah hendaklah dibayar dari hartanya yang lain seperti uangnya sendiri.

Sebaliknya pernah terjadi suatu kejadian pada saat memotong daging kurban di sebuah kota di Malaysia. Kebetulan yang menjadi pemilik daging kurban adalah orang-orang Arab (mungkin pelajar). Mereka mengerti bahwa tidak boleh memberi upah dengan daging kurban. Yang tidak eloknya adalah, setelah mendapatkan daging kurban yang telah dipotong-potong itu, mereka langsung meninggalkan si penyembelih dan si pemotong yang melongo karena tidak diberikan upah sedikitpun. Patutkah sikap dipemilik daging yang langsung cabut tersebut?

Tidak patut sama sekali, karena dibolehkan untuk memberi sedekah kepada penyembelih asalkan bukan diniatkan sebagai upah. Tapi harus diyakinkan terlebih dahulu, penyembelih itu dari kalangan yang memang berhak mendapat sedekah. Kalau mereka tidak layak menerima sedekah, maka kita bagikan daging kurban itu kepada mereka sebagai hadiah.

4. Bagaimana pembagian daging aqiqah?

Aqiqah disunatkan dengan kambing bagi setiap anak. Lebih baik lagi dua kambing bagi anak laki-laki jika mampu. Mazhab Syafie, Hanafi dan Hanbali setuju dengan pendapat yang membolehkan aqiqah dengan unta, lembu dan kambing. Pandangan itu juga turut disetujui oleh dua pandangan dari mazhab Maliki.

Walaupun mereka dengan jenis binatang yang boleh dikurbankan, mereka berbeda pendapat mengenai pembagian aqiqah tersebut:

[1] Mazhab Syafie: pembagian aqiqah sama dengan pembagian qurban yaitu 1 kambing, 1/7 unta atau 1/7 lembu.

[2] Mazhab Maliki dan Hanbali: daging aqiqah adalah seluruh satu lembu atau seluruh satu unta.

5. Daging kurban diberikan kepada siapa saja?

Perbedaan pandangan tentang hokum daging kurban sebagai berikut :

[1] Mazhab Hanafi memandang sunah daging hewan kurban itu dibagi tiga: sepertiga sunah dimakan oleh pemiliknya; sepertiga dihadiahkan untuk teman-teman akrab, sekalipun mereka orang kaya; sepertiga lagi disedekahkan kepada orang miskin. Pendapatnya ini didasarkan kepada firman Allah swt : “Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS.22: 36). Dan hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw membagi kurbannya atas tiga bagian: sepertiga untuk keluargana, sepertiga untuk tetangganya yang miskin, dan sepertiga untuk peminta-minta (HR. Hafiz Abu Musa al-Isfahani).

[2] Mazhab Hanbali, memandang sunah daging hewan kurban itu dibagi tiga: sepertiga sunah dimakan oleh pemiliknya; sepertiga dihadiahkan untuk teman-teman akrab, sekalipun mereka orang kaya; sepertiga lagi disedekahkan kepada orang miskin (sependapat dengan Mazhab Hanafi). Tetapi mereka memandang wajib bagi pemilik hewan kurban memakan sepertiga dari daging kurbannya, karena perintah yang terkandung dalam ayat di atas mengandung pengertian wajib. Kendati demikian, ulama Mazhab Hanbali membolehkan pemilik kurban memakan daging kurban lebih banyak dari itu.

[3] Mazhab Maliki berpendapat bahwa daging kurban tidak perlu dibagi-bagi. Hadis-hadis yang menerangkan adanya pembagian itu semuanya bersifat mutlak, yang memerlukan perincian. Menurut mereka, Rasulullah saw sendiri tidak melarang memakan dan menyimpan daging kurban, tanpa memberikan kepada orang lain, seperti dalam sabdanya : “Saya melarang kamu menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari, karena kepentingan sekelompok orang badui. Kemudian Allah memberikan kelapangan, maka simpanlah olehmu apa yang ada padamu” (HR. Muslim).

Suatu waktu Nabi Muhammad SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian peraturan yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad itu dilanggar oleh para sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada Nabi Muhammad. Beliau membenarkan tindakan para sahabat itu sambil menerangkan bahwa larangan menyimpan daging kurban adalah didasarkan atas kepentingan Al Daffah (tamu yang terdiri dari orang-orang miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah). Setelah itu, Nabi Muhammad bersabda, “Sekarang simpanlah daging-daging kurban itu, karena tidak ada lagi tamu yang membutuhkannya”.

Dari kasus tersebut terlihat, adanya larangan menyimpan daging kurban diharapkan tujuan syariat dapat dicapai, yakni melapangkan kaum miskin yang datang dari dusun-dusun di pinggiran Madinah. Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada lagi, maka larangan itu pun dihapuskan oleh Nabi SAW.

[4] Mazhab Syafi’i, hukumnya wajib untuk disedekahkan kepada fakir miskin sebagian dari daging kurban sekalipun jumlahnya sedikit, sementara selebihnya diberikan kepada handai taulan, baik kaya maupun miskin, dan pemiliknya sendiri sunah memakannya sekedar sesuap. Dasarnya merujuk kepada firman Allah swt : “Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta” (QS.22: 36). “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” (QS.22: 28). Dan berdasarkan hadis yang mengatakan bahwa, “Rasulullah saw biasa memakan hati binatang kurbannya” (HR.al-Baihaki).

6. Bolehkah sejumlah pelajar yang tidak mampu berkurban bersama-sama?

Mazhab Hambali dan Syafi’i membenarkan seseorang berkurban seekor kambing untuk dirinya dan untuk keluarganya. Hal itu karena Rasulullah SAW memang pernah menyembelih seekor kambing qurban untuk dirinya dan untuk ahli baitnya.

Hal senada juga disepakati oleh Imam Malik, bahkan beliau membolehkan bila anggota keluarganya itu lebih dari 7 orang. Namun syaratnya adalah:

[1] pesertanya adalah keluarga,

[2] diberi nafkah olehnya dan

[3] tinggal bersamanya.

Sedangkan bila patungan terdiri dari 50 anak di dalam kelas untuk membeli seekor kambing, tentu saja tidak bisa dikatakan sebagai hewan qurban. Karena tidak memenuhi ketentuan yang telah ada.

Kesimpulan:

[1] Seekor hewan kurban (unta, lembu atau kambing) boleh dikubarkan bagi pihaknya dan keluarganya .

[2] 1/7 bagian kurban boleh dijadikan kurban oleh seseorang bersama-sama dengan anggota keluarganya.

[3] Tetapi kurban bersama-sama yang bukan anggota keluarga tidak ditemukan fatwanya.

7. Mana didahulukan kurban atau aqiqah

Untuk persoalan yang mana lebih didahulukan antara aqiqah dan korban, maka jawabannya adalah seperti berikut :

Hukum melaksanakan ibadah aqiqah adalah sunat Muakkad bagi setiap keluarga yang dikurniakan cahaya mata oleh Allah swt sebagai tanda kesyukuran. Ini dapat digambarkan dengan hadis-hadis Rasulullah saw yang mensyariatkan ibadah tersebut seperti :

Bersama bayi yang lahir itu aqiqah, maka oleh karena itu mengalirkanlah darah (sembelihan) untuknya, dan jauhkan baginya segala kesakitan (godaan syaitan) ( Riwayat Al-Bukhari)

Setiap anak perlu dipajakkan (terhutang) dengan aqiqah, disembelih untuknya pada hari ketujuh umurnya, dan diberi nama dan dicukur rambut kepalanya” ( Riwayat Ashabus Sunan )

Maka, jika dilihat kepada 2 hadis di atas, jelas kepada kita semua betapa dituntutnya dalam Islam untuk dilaksanakan ibadah aqiqah. Berbeda dengan ibadah kurban yang disyaratkan akan kemampuan untuk melaksanakannya, seperti sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra :

Barang siapa yang mempunyai kemampuan (untuk berkurban) , tetapi tidak mahu berkurban , maka janganlah ia mendekati tempat solatku” (HR Ahmad : 8256 , Ibn Majah : 3123 , al-hakim : 4/231)

Hadis di atas jelas meletakkan kemampuan sebagai syarat bagi seseorang yang ingin melaksanakan ibadah kurban.

Berdasarkan kepada hujah dan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa melakukan atau mendahulukan ibadah aqiqah adalah yang dituntut dalam Islam.

8. Apa hukumnya memotong rambut atau kuku bagi orang yang berniat untuk berkurban?

Makruh hukumnya menurut jumhur (kecuali Hanafi) . Menurut madzhab Hambali larangan Rasulullah saw untuk memotong kuku dan rambut pada sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah bukan berarti hal itu haram dilakukan; tetapi hanya bersifat makruh. Sebenarnya hal itu dilakukan untuk menirukan mereka yang sedang melaksanakan ibadah haji dan umrah. Karena itu jika kemudian ada yang memotong kuku dan rambutnya, apalagi karena tidak tahu; maka ia tidak perlu membayar tebusan atau fidyah. Yang perlu ia lakukan adalah beristigfar kepada Allah Swt. Bahkan para ulama menyatakan bahwa al-karahah tazulu bi adna al-hajah . Artinya, ketentuan makruh tersebut bisa lenyap karena adanya kebutuhan minimal. Misalnya jika seseorang merasa risih dan tidak enak kuku dan rambutnya panjang, maka boleh saja ia memotong kuku dan rambutnya tersebut. Demikian ketentuan bagi yang hendak menyembelih hewan kurban.